Minggu, 25 September 2011
inspiring me once again (1)
“Hahaha, ayo coba kejar aku!” pintaku sambil terus berlari. “Awas kamu, La!” seru seorang lelaki yang lebih tua dari aku. Dengan lincahnya, aku berlari dan terus berlari, menyusuri pohon-pohon yang ada disekitar rumahku, Rumahku? Ya, rumahku terletak di sebuah desa bernama Desa Tulungagung, Jawa Timur. Mungkin rumahku adalah rumah yang paling paling tak terlihat jika dilihat dari kampung sebelah. Hanya terletak disepetak tanah dengan lantai semen dan hanya mempunyai satu kamar di dalamnya sehingga kita harus berdempet-dempetan dalam tidur kami. Ahh biarlah, masa bodo dengan bagaimana rumahku, yang penting aku tidak tertangkap oleh laki-laki berambut klimis belah pinggir itu, berlari semakin cepat untuk menghindarkan diri agar tidak tertangkap olehnya. Dengan gerakan yang gesit dan cepat pula, dia tidak mau kalah. Heeem… dia memang tidak pernah mau kalah walaupun dengan anak kecil sepertiku yang baru berumur 5 tahun. Coba kau lihat wajahnya saat mengejarku, dia terlihat seperti seorang bayi berumur 5 bulan yang ingin menangkap mainan yang dipegang ayahnya. Dengan seluruh kemampuan yang dia punya, mencoba menangkap mainan itu walaupun tangannya yang kecil mungil itu tidak bisa menjangkau mainan yang dipegang ayahnya. Haha.. Lucu sekali!!! Seperti itulah dia sekarang, dengan sekuat tenaga menggerakkan kakinya agar bisa menjangkau diriku. Karena, terlalu memperhatikan wajahnya yang sawo matang yang disinari matahari, aku lengah, dan akhirnya, hap! Jaring tangan itupun menangkapku, dikelitiknya perutku hingga tak kuasa menahan tawa dan akhirnya mengeluarkan air mata. “Ampuuuun! Hahaha, geli geli geli hahaha” pintaku sambil terus mencoba menutupi perut dan menghalau tangannya agar tak mengelitikku lagi. Setelah puas mengelitik (akhirnya), dia menaikkanku keatas bahunya. Oh, aku mengerti pasti kita akan menari ronggeng seperti biasanya, aku dan lelaki berwajah melakonlis itu pun mulai menggoyangkan tangan layaknya sedang menari ronggeng. “Hahaha, ayo joget teruuuuuuus!” pintaku dengan ceria sambil goyang-goyang di atas bahunya. Kami selalu melakukan ini, bermain, bercanda, menari bersama. Ah lelaki itu…
Dia itu pahlawan bertopengku, selalu ada di sisi depan, kiri, kanan, dan belakangku. Walaupun aku tidak tau dia melihatku dari sisi mana tetapi, dia selalu ada di setiap aku tiba-tiba membutuhkannya. Pernah suatu hari, ada sekelompok anak laki-laki seumurku yang mengambil mainan terbaik yang kumiliki, mainan masak-masakanku. Mereka merebutnya dengan paksa, betapa kagetnya aku saat dia tiba-tiba muncul untuk menghalau sekelompok anak lelaki itu. “Berikan atau kuceburkan kalian ke sungai!” serunya. Otomatis, anak-anak ingusan itu takut dengannya dan langsung memberikan mainan itu kembali kepadaku. Dia duduk di bangku kelas 5 saat itu, badannya yang bongsor dan ancaman yang menakutkan, membuat anak-anak ingusan itu tidak berani lagi mengangguku. Begitu juga dengan teman-teman yang sering mengejekku, mengejekku dengan sebutan “anak kumuh”, “anak miskin”, atau “anak kotor”, lelaki itu tidak pernah akan menerima jika aku diejek dengan istilah-istilah tidak berperasaan seperti itu. Dia pasti akan mencari tau siapa orang yang mengejekku. Aku tidak pernah mengadu kepadanya. Jangan pernah berpikir aku tukang mengadu, aku tidak pernah ingin teman-temanku dimarahi olehnya, aku sudah terlalu biasa dengan sebutan-sebutan seperti itu, mencoba agar semua sebutan itu hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan, tetapi dia tidak akan pernah begitu saja menerima aku diejek seperti itu, baginya kita harus mempunyai yang namanya harga diri. Ah dia masih terlalu dini untuk tahu apa yang disebut harga diri. Hei, jangan dilihat dari umurnya, walau masih bisa disebut sebagai anak ingusan juga, dia telah mengerti dan bersikap dewasa dalam menjalani hidup,menjujung tinggi sebuah harga diri itulah prinsipnya. Dia tetaplah pada pendiriannya, tidak ingin aku diejek dan diolok-olok seperti itu. Walaupun aku tak mau memberi tau kepadanya siapa pelakunya, dia tetap akan mencari tau sampai dia tau siapa yang melakukannya. Setelah dia tahu? Dia akan menemui orang itu, dan menasehatinya. Ingat! Menasehatinya bukan memarahinya. Ah kupikir dia akan mengajak berkelahi anak-anak yang mengejekku itu. Ternyata, orang yang memiliki pendirian itu juga sangat baik hatinya. Prinsipnya yang lain adalah bahwa tidak harus memakai kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah. Suatu sore, saat aku dan dia sedang memetik melinjo untuk ibuku sebagai bahan untuk sayur asemnya, dia bilang kepadaku “Kejahatan itu tidak harus dibalas dengan kejahatan. Coba kamu liat batu yang keras kalau terus menerus diguyuri air hujan, lama-lama batu itu akan lapuk atau hancur juga. Begitu juga seperti manusia, La.” Hem… aku hanya mengangguk berharap suatu hari mengerti apa yang dimaksudkannya.
Dia itu dokter psikologisku. Dia yang paling tau dan mengerti kondisi kejiwaan dan perasaanku. Saat masih kecil, aku merasa hidupku sedang berada di bawah sebuah roda yang berputar. Jangan kau pikir, masa kecilku diisi dengan pergi ke taman bermain, belajar berenang di kolam air, menonton aneka kartun di televisi atau bermain mengganti baju dan menguncir rambut sebuah boneka pirang yang cantik. Semua mainanku itu terbuat dari kayu dan merupakan mainan tradisional seperti gasing, gobak sodor, kakekku yang membuatkan mainan-mainan kayu itu untukku. Mainan yang paling bagus yang pernah kumiliki saat kecil adalah mainan masak-masakanku itu, dibelikan oleh ibuku di pasar induk sebagai kado ulang tahunku yang ke 5 di bulan Mei kemarin. Kau bisa membayangkan? Betapa senangnya aku mendapatkan kado itu, sungguh tidak bisa kubayangkan kalau tidak ada “pahlawan bertopengku” saat itu. Yaa. masa yang sangat tidak mudah untuk dilalui seorang anak yang tidak tau apa-apa sepertiku ini. Ditengah-tengah keterbatasan ekonomi, rumah yang sudah hampir rapuh, dan konflik orangtua yang tak kunjung selesai, disanalah aku berada. Diantara keadaan yang mencekik hati itu, satu yang paling membuatku sangat tercekat yaitu saat- saat melihat pertengkaran kedua orangtuaku. Piring, gelas, atau pun vas bunga yang pecah selalu menjadi tontonan yang paling nyata dalam kehidupanku. Aku tidak menangis, aku juga tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikannya, walau hatiku sangat mendorong untuk dapat melakukan itu, tapi apa daya, apa yang dapat dilakukan oleh anak kecil, pendek, ingusan sepeti aku ini? Aku hanya bisa terdiam, terdiam, dan terdiam. Ya mungkin, karena sudah terbiasa juga akan hal itu. Tunggu, entah kenapa hati ini rasanya makin tercekat melihat pertengkaran itu, tercekat sekali dan rasanya seperti mau keluar. Tolong bawa aku keluar dari keadaan ini! jerit hatiku. Aku tak sanggup lagi, sungguh tak sanggup. Jangan kau pikir aku hanya seorang siswa taman kanak-kanak, yang hanya bermain mainan bongkar pasang, yang tidak tau apa-apa. Makin lama aku makin mengerti akan semua yang terjadi. Tampang poloskulah yang telah membohongi kalian semua, seakan-akan aku tidak tau apa yang terjadi. Kalian semua telah kubohongi! Tiba-tiba ada seseorang yang mengulurkan tangannya kepadaku, tangan yang mempunyai kuku tangan berwarna hitam, ah kutau pasti orang ini habis main kelereng di luar sana,. pikirku dalam hati. Kumenengok ke arah suara itu. Nyeeeeees… hati ini seperti mendapat bongkahan es, sejuk dan perlahan mulai lepas dari ikatannya. Wajah yang sama, melankolis, klimis, belah pinggir. “Ayo, La kita main-main diluar!” seru lelaki itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Aku mengangguk sekali, dan beranjak dari tempat yang menyeramkan itu, meninggalkan suara-suara ribut di belakangku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar